MAKALAH MANAJEMAN KEBIDANAN PADA MASA NIFAS

Kawaiibeautyjapan.com

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1    Konsep Teori
2.1.1        Konsep Teori Masa Nifas
2.1.1.1       Pengertian Nifas
Masa Nifas (puerperium) adalah  masa  setelah  plasenta  lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung kira-kira 6 minggu (Saleha, 2009).  
Masa Nifas (puerperium) di mulai setelah kelahiran plasenta  lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan  kembali  seperti keadaan sebelum hamil dimulai sejak 2  jam  setelah  lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu atau 42 hari (Sunarsih, 2011).
2.1.1.2       Periode Nifas
Menurut Ambarwati dkk  (2008),  masa  nifas  dibagi  menjadi  3  periode :
a)        Puerperium  dini  yaitu  kepulihan  dimana  ibu   telah  diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam agama islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja selama 40 hari.
b)        Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggu.
c)        Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan pulih sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi, waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan, tahunan.
2.1.1.3       Tahap Masa Nifas
Menurut Salehah  (2009),  tahapan  yang  terjadi  pada  masa  nifas adalah sebagai berikut.
a)        Periode immediate postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24  jam.  Pada  masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan  karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lochea, tekanan darah, dan suhu.
b)        Periode early post partum
Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri  dalam  keadaan  normal, tidak ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan makanan  dan  cairan,  serta  ibu dapat menyusui dengan baik.
c)        Periode late postpartum
Pada periode ini  bidan  tetap  melakukan  perawatan  dan  pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB.
2.1.1.4       Lochea
Menurut  Saleha  (2009),  lochea  adalah   cairan   secret   yang berasal dari cavum uteri dan  vagina  selama  masa  nifas.  Lochea dimulai sebagai suatu pelepasan cairan  dalam  jumlah yang  banyak  yang  khas,  tidak  seperti  bau  mentruasi,   bau   ini  lebih   terasa tercium pada lochea serosa, bau  ini  juga  akan semakin  lebih  keras  jika bercampur dengan keringat dan harus cermat membedakannya dengan bau busuk yang menandakan  adanya  infeksi.  Pengeluaran lochea dapat dibagi berdasarkan waktu dan warnanya, yaitu :
a)        Lochea Rubra
Lochea  rubra  (cruenta)  berwarna  merah  karena  berisi  darah   segar dan sisa-sisa selaput kebutuhan, set-set desidua  verniks  caseoca, lanugo, dan mekoneum selama 2 hari pasca  persalinan.  Inilah lochea yang akan keluar selama 2-3 hari postpartum.
b)        Lochea Sanguilenta
Lochea sanguilenta berwarna  merah  kuning  bersih  darah  dan  lendir yang keluar pada hari ke-3 sampai ke-7 pasca persalinan.
c)        Lochea Serosa
Lochea  serosa  adalah  cairan  yang  berbentuk  serum   dan   berwarna  merah  jambu  kemudian  menjadi  kuning.  Cairan  ini  tidak berdarah lagi pada hari ke-7 samapai hari ke-14 pasca  persalinan. Lochea serosa mengandung cairan serum, jaringan desidua, leokosit, dan eritrosit.
d)       Lochea Alba
Lochea  alba  dimulai  dari  hari  ke-14  kemudian  makin  lama  makin sedikit hingga  sama  sekali  berhenti  sampai  1  atau  2  minggu  berikutnya.  Bentuknya  seperti   cairan   putih  berbentuk krim serta terdiri atas leokosit dan sel-sel desidua.
e)        Locea Purulenta
Lochea  purulenta  adalah  menandakan  adanya  infeksi,  keluar  cairan seperti nanah dan berbau busuk.
f)         Lochiastasis
Lochiastasis yaitu yang tidak lancar keluarnya.
2.1.1.5       Tanda Bahaya pada Masa Nifas
Tanda bahaya pada masa nifas menurut Saifuddin (2004), adalah  sebagai berikut :
a)        Perdarahan vagina  yang  luar  biasa  atau  tiba-tiba  bertambah  banyak (lebih dari perdarahan haid biasa atau bila memerlukan penggantian pembalut 2x dalam 30 menit.
b)        Pengeluaran vagina yang baunya busuk.
c)        Rasa sakit di bagian bawah abdomen/punggung.
d)       Sakit kepala yang terus menerus, nyeri ulu hati, atau masalah penglihatan.
e)        Pembengkakan di wajah atau tangan.
f)         Demam, muntah, rasa sakit waktu berkemih.
g)        Payudara yang berubah menjadi merah, panas, dan sakit.
h)        Rasa sakit, merah, lunak, dan pembengkakan dikaki.
i)          Kehilangan nafsu makan dalam waktu lama.
j)          Merasa sangat letih dan nafas terengah-engah

2.1.2        Preeklampsia Berat Masa Nifas
2.1.2.1       Pengertian PEB
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria > 5g/24 jam (Sarwono. 2014).
Tanda gejala Pre Eklampsi berat:
a)        Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg.
b)        Protein urin > 5 gram.
c)        Oligouria (< 400 cc/24 jam).
d)       Oedema paru/sianosis.
e)        Adanya       gangguan         penglihatan,     nyeri    kepala, nyeri epigastrium.
Keluhan subyektif :
a)        Nyeri Epigastrum
b)        Gangguan penglihatan
c)        Nyeri kepala
d)       Oedema paru
e)        Gangguan kesadaran
Pemeriksaan
a)        Kadar enzim hati meningkat disertai ikterus dengan pemeriksaan laboratorium
b)        Perdarahan  pada retina dengan ananmesa tentang penglihatan kabur
c)        Trombosit kurang dari 100.000/mm pada   pemeriksaan laboratorium
2.1.2.2       Komplikasi Preeklampsia
Komplikasi pre eklampsia menurut Duff et. al, (2005) adalah :
a)        Pada ibu
1)   Perdarahan otak
2)   DIC (disseminated intravascular coagulation)
3)   Perdarahan dihati
4)   Kejang
5)   Kematian
b)        Pada janin
1)   Abropsio plasenta
2)   Kegawat daruratan janin
3)   Kematian janin
2.1.2.3       Gambaran Klinis Preeklampsia Berat
Biasanya tanda-tanda  pre  eklampsia  timbul  dalam  urutan  pertambahan  berat  badan  yang  berlebihan,  diikuti  oedema,  hipertensi,  dan  akhirnya  proteinuria.  Pada  pre  eklampsia  ringan  tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada pre eklampsia berat didapatkan nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, oedema  paru,  gangguan  kesadaran.  Gejala-gejala  ini  sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk  bahwa  eklampsia  akan  timbul  tekanan  darah   pun meningkat  lebih  tinggi,  oedema  menjadi  lebih  umum,  dan proteinuria bertambah banyak (Wiknjosastro, 2006).
2.1.2.4       Patofisiologi
Pada Pre eklampsia berat terjadi  spasme  pembuluh  darah disertai  dengan  retensi  garam  dan  air.  Pada  biobsi   ginjal   ditemukan  spasme  hebat   arteriola   glomerulus.   Pada   beberapa kasus lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi  jika  semua  arteriola  dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik dengan sendirinya,  sebagai  usaha  untuk   mengatasi   kenaikan   tekanan  perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi (Wiknjosastro, 2006).
Kenaikan berat badan dan oedema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Wiknjosastro, 2006)
Pada pre eklampsia spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air,  pada  beberapa  kasus  lumen  arteriola sedemikian sempitnya sehingga  hanya  dapat  dilalui  oleh  satu  sel darah merah (Wiknjosastro, 2006).
Pada Ibu nifas dengan pre eklampsia  berat  sebaiknya  di anjurkan  untuk  banyak  istirahat   cukup,   makan   tinggi   protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin, rendah lemak, dan  diet  rendah  garam, pantau pemeriksaan urin, kolaborasi  dengan  dokter  SpOG dalam  memberikan  terapi  obat  sedativa   dan  anti   hipertensi.   hal- hal tersebut apabila tidak ditangani akan terjadi  eklampsia (Wiknjosastro, 2006).
2.1.2.5       Pencegahan Preeklampsia Berat
Pencegahan preeklampsia berat menurut Wiknjosastro (2006), yaitu :
a)        Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti,  mengenali tanda-tanda mungkin (pre eklampsia ringan), lalu diberikan  pengobatan  yang  cukup  supaya  penyakit   tidak   menjadi lebih berat.
b)        Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre eklampsia kalau ada faktor-faktor predesposisi.
c)        Berikan penerangan tentang  manfaat  istirahat  dan  tidur,  ketenangan  serta  pentingnya  mengatur   diet   rendah   garam, lemak, serta karbohidrat dan tingginya protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan.
Menurut  Wiknjosastro  (2008), konseling yang diberikan untuk mencegah pre eklamsia berat adalah :
a)        Diet makanan
Makanan  tinggi  protein,  tinggi  karbohidrat,  cukup   vitamin, rendah lemak dan tidak perlu diet rendah garam.
b)        Cukup istirahat
Istirahat yang cukup pada hamil tua sangat penting lebih banyak duduk atau berbaring ke arah kiri sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.
2.1.2.6       Penanganan
Penanganan kasus pre eklampsia berat pasca persalinan menurut Varney (2004), yaitu :
a)        Jelaskan pada ibu tentang kondisinya
b)        Beri KIE tentang tanda-tanda bahaya pre eklampsia
c)        Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
d)       Pantau tekanan darah, protein urin
e)        Anjurkan pada ibu untuk banyak istirahat
f)         Anjurkan pada ibu untuk diet rendah garam
g)        Keseimbangan cairan dan pengganti elektrolit untuk memperbaiki hipovolemik,  mencegah  kelebihan   sirkulasi   dan   pemeriksaan  serum harian
h)        Pemberian sedativa untuk mencegah timbulnya kejang-kejang
i)          Memberikan  MgSO4  secara  IV  dan  IM  masing-masing  dengan  jarak 5 menit
j)          Melakukan kolaborasi dengan Dokter SpOG
k)        Melakukan rujukan ke rumah sakit yang lebih tinggi (Wiknjosastro. 2006)

2.1.3        Hipertensi Emergency
2.1.3.1   Pengertian
Hipertensi emergensi adalah kondisi dimana tekanan darah melonjak terlalu tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Kondisi darurat hipertensi ini bisa menyebabkan kerusakan organ dan bahkan kematian. Hipertensi emergensi memerlukan penanggulangan secepatnya, yakni penurunan tekanan darah dalam hitungan menit atau jam. Hipertensi emergensi seringkali terjadi ketika penyakit hipertensi tidak terkontrol, atau ketika pasien hipertensi tidak meminum obatnya.
2.1.3.2   Etiologi dan Patofisiologi
Faktor penyebab hipertensi emergensi masih belum dipahami. Peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular dipercaya menjadi penyebab. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol kemudian berdampak pada kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
2.1.3.3   Penatalaksanaan Umum Hipertensi Emergency
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat- obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.
2.1.3.4       Penatalaksanaan Khusus Hipertensi Emergency
a)        Neurologic emergency. Kegawat daruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan strok iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada hepertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan strok iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1 – 2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahakan > 130 mmHg.
b)        Cardiac emergency. Kegawat daruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat- obatan β-blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120 mmHg) dalam waktu 20 menit.
c)        Kidney failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari petensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.
d)       Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat – obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang – orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprussid (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidin terapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagai dosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti-hipertensi yang telah dijelaskan di atas.

2.1.4        Imbalance Cairan (Hiponatremia)
2.1.4.1   Pengertian
Hiponatremia didefinisikan sebagai keadaan dimana kadar natrium serum < 130 mmol/L dan ditemukan pada 5% pasien yang dirawat di rumah sakit. Hiponatremia dapat bersifat asimtomatik, tapi juga dapat menyebabkan confusion, koma dan kejang.
Pada hiponatremi terdapat kelebihan air dalam kompartemen ekstraselular relatif dibandingkan dengan jumlah natrium dalam kompartemen ekstraselular. Hal ini dapat terjadi pada tiga keadaan yang berbeda:
a)        Hipovolemia(defisit natrium dan air)
b)        Normovolemia (tidak ada perubahan dalam natriumtapi terdapat sedikit peningkatan jumlah air)
c)        Hipervolemia (peningkatan jumlah natrium dan air)
(Patrick, Davey. 2005)
2.1.4.2   Penyebab Umum
a)        Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai (syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone)
b)        Gagal jantung (tingkat keparahan hiponatremia berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung serta prognosisnya).
c)        Pemberian dekstrosa intravena yang berlebihan pad pasien pasca operasi.
d)       Penyakit Addison iatrogenik (penghentian terapi kortikosteroid yang mendadak pada pasien bermanula yang sedang dalam terapi steroid dosis tinggi atau yang tidak mampu meningkatkan sekresi steroid saat sedang sakit).
(Patrick, Davey. 2005)
2.1.4.3   Penatalaksanaan
Etiologi penyebabnya harus ditemukan dan dikoreksi sebisa mungkin. Status volume pasien harus ditentukan. Apabila terdapat tanda-tanda hipovolemia (rasa haus, takikardia, hipotensi, hipotensi postural, turgor kulit menurun, dan lain-lain), maka perlu diberikan natrium klorida intravena. Pada hiponatremia ringan, terapi mungkin tidak dibutuhkan, tapi bila terdapat gejala dan tidak ada tanda hipovolemia, maka asupan cairan pasien harus dibatasi. Bila terdapat tanda-tanda hipervolemia (oedema, peningkatan tekanan vena jugularis, hipertensi), maka pemberian diuretik dan pembatasan asupan air dilakukan. Koreksi kadar natrium dengan hati-hati sangat penting untuk menghindari mielinolisis pons sentral, yaitu sebuah sindrom yang terdiri dari ensefalopati, kelumpuhan saraf kranial, dan kuadriplegia, yang dapat terjadi pada koreksi natrium mendadak. Pada hiponatremia kronis, natrium perlu dikoreksi dengan kecepatan kurang dari 0,5 mmol/L per jam, namun hiponatremia akut, apabila terdapat gejala-gejala neurologis, maka koreksi harus dilakukan dengan lebih cepat.
(Patrick, Davey. 2005)
2.1.5        HbsAg
Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang ditemukan pada permukaan VHB, dahulu disebut dengan Australia (Au) antigen atau hepatitis associated antigen (HAA). Adanya antigen ini menunjukkan infeksi akut atau karier kronis yaitu lebih dari enam bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB (WHO. 2002).

2.2    Konsep Manajemen Kebidanan
Pengertian
Manajemen  kebidanan  adalah  proses  pemecahan  masalah  yang digunakan oleh bidan dalam memecahkan klien. Penulis menerapkan manajemen kebidanan yang telah di kembangkan oleh Varney yang terdiri  dari  :  pengkajian  data,  interpretasi  data,  diagnosa potensial, tindakan segera, rencana tindakan, pelaksanaan, evaluasi (Varney, 2007).
Menurut Varney (2007), manajemen kebidanan 7 langkah varney.
a.     Langkah pertama : Pengkajian Data
Dalam langkah pertama ini bidan mencari dan menggali data maupun fakta baik yang berasal  dari  pasien,  keluarga  maupun anggota tim lainnya, ditambah dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh bidan sendiri. Proses pengumpulan data dasar ini mencakup data subyektif dan obyektif.
1)   data subyektif
Data  subyektif  adalah  data  yang  didapatkan  dari  keluarga pasien suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian,  informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh tim kesehatan secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi (Nursalam, 2008).
a)    Biodata pasien
Menurut Nursalam (2008), pengkajian biodata antara lain:
(1)     Nama
Untuk  mengetahui  nama  klien  agar   mempermudah dalam komunikasi.
(2)     Umur
Untuk  mengetahui  adanya  faktor  resiko  yaitu   pada umur kurang dari 20 tahun dan lebih  dari  35  tahun.  karena alat-alat reproduksi belum matang, mental,  psikisnya belum siap dan mudah terkena resiko.
(3)     Agama
Untuk mengetahui agama yang dianut klien.
(4)     Pendidikan
Untuk  mengetahui  latar  belakang,  tingkat   pendidikan dan pengetahuan.
(5)     Alamat
Untuk mengetahui lingkungan, tempat tinggal dan karakteristik masyarakat.
(6)     Pekerjaan
Untuk mengetahui keadaan ekonomi.
b)   Keluhan utama
Untuk  mengetahui  keluhan   yang   dirasakan   saat pemeriksaan  serta  berhubungan   dengan   masa   nifas (Hidayat,  2006).  Pada  kasus  ibu  nifas dengan Pre Eklampsi berat keluhannya meliputi nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala,  oedema paru, gangguan kesadaran (Wiknjosastro, 2008).
c)    Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui menarche, siklus haid, lamanya haid, banyaknya darah, teratur/tidak, sifat darah, dismenorhea (Lawintono, 2004). Tanggal hari pertama haid terakhir/ hari perkiraan lahir,  gerakan  janin,  obat  yang  dikonsumsi,  keluhan selama hamil, ANC/ periksa ke tenaga kesehatan, penyuluhan yang pernah  di  dapat,  Imunisasi  TT,  kekhawatiran khusus (Wiknjosastro, 2008).
d)   Riwayat penyakit menurut Varney ( 2007 ), meliputi :
(1)     Riwayat kesehatan sekarang
Wanita dengan gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal, migraine, tekanan darah tinggi) merupakan salah satu faktor resiko terjadinya preeklampsia dan eklampsia (Nurarif. 2015).
(2)     Riwayat penyakit yang lalu
Preeklampsiapada kehamilan sebelumnya merupakan salah satu faktor resiko terjadinya preeklampsia dan eklampsia (Nurarif. 2015).
(3)     Riwayat penyakit keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada riawayat keluarga dengan preeklampsia dan eklampsia, yang menderita penyakit  menurun  seperti  jantung,  hipertensi TD 160/110, dan Diabetes Melitus dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis, HIV/AIDS.
f)    Riwayat perkawinan
Untuk mengetahui status perkawinan, berapa kali menikah, umur berapa menikah dengan suami, berapa lama sudah menikah dan apakah sudah memiliki  anak  belum (Wiknjosastro, 2008).
g)   Riwayat keluarga berencana
Untuk  mengetahui  klien  pernah  menggunakan  KB/tidak,   jika sudah berapa lama memakainya  dan  berhenti menggunakan KB apa dan apakah ada keluhan atau tidak  selama memakai (Nursalam, 2009).
h)   Menurut Varney (2007) riwayat  kehamilan, persalinan  dan nifas yang lalu, meliputi :
(1)     Kehamilan   : Untuk mengetahui berapa umur kehamilan.
(2)     Persalinan    : Spontan/ buatan, ditolong oleh siapa.
(3)     Nifas           : Keadaan klien baik/tidak, bagaimana proses laktasinya.
(4)     Anak           : Jenis kelamin, berat badan, panjang badan.
(5)     Keadaan anak sekarang : Hidup/tidak, sehat/ tidak.
i)     Pola kebiasaan sehari–hari
(1)     Pola Nutrisi
Dikaji  untuk  mengetahui  makanan  yang   biasa dikonsumsi  dan  porsi  makan  dalam  sehari.  Pada  ibu nifas  dengan   Pre   Eklampsi  berat   makanan   diet biasanya (tinggi protein, tinggi karbohidrat) dan rendah garam (Wiknjosastro, 2006 ).
(2)     Pola Eliminasi
Pada BAB/BAK perlu dikaji, disebut normal bila dapat buang   air  kecil   spontan   setiap   3-4  jam. BAB  biasanya 2-3 hari post partum masih sulit buang air besar  (Ambarwati, 2008).
(3)     Pola Aktifitas
Dikaji untuk mengetahui apakah Pre Eklampsi berat disebabkan karena aktifitas fisik  secara  berlebihan (Hidayat, 2008).
(4)     Pola Istirahat
(5)     Dikaji untuk mengetahui kebiasaan istirahat klien siang berapa jam dan malam berapa jam (Varney, 2007).
j)     Data Psikologi, Sosial dan Spiritual
Dikaji untuk mengetahui bagaiaman perasaan tentang kondisi saat ini, dukungan keluarga terhadap kondisi ibu, dan harapan ibu kepada Tuhan.
2)      Data Obyektif
Data Obyektif adalah pencatatan yang dilakukan dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus kebidanan dan data penunjang (Hidayat, 2008).
a)    Pemeriksaan Umum
(1)     Keadaan umum
Pada preeklampsia ringan gejala subyektif belum dijumpai sehingga kemungkinan keadaan umum pasien masih baik. Pada preeklampsia berat dapat terjadi gangguan kesadaran (Nurarif, 2015). Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gejala-gejala pre-eklampsia berat disertai kejang atau koma (Mansjoer, 2009).
(2)     Kesadaran
Untuk mengetahui tingkatan kesadaran ibu (Nursalam, 2009).
a.    Composmentis (kesadaran penuh dengan memberikan respon yang cukup terhadap stimulus yang diberikan)
b.    Somnolen (kesadaran yang mau tidur saja. Dapat dibangun dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi).
c.    Koma (tidak dapat bereaksi terhadap rangsangan apaun, reflek-reflek pupil terhadap cahaya tidak ada)
d.   Apatis (acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya).
e.    Pada kasus pre eklampsi ringan kesadaran ibu composmentis (Alimul, 2006).
(3)     Tanda – tanda vital meliputi :
Tekanan darah
Untuk mengetahui faktor  resiko  hipertensi.  Tekanan  darah normal  120/80  mmHg  (Wiknjosastro,  2006). Dalam kasus ini tekanan darah ibu nifas dengan pre eklamsia berat ≥160/110 mmHg (Wiknjosastro, 2006).
Suhu
Untuk mengetahui ada peningkatan suhu tubuh/tidak, normalnya suhu tubuh 36,5 ˚C – 37,6 ˚C (Perry, 2005).
Nadi
Untuk  mengetahui  denyut  nadi  klien   dengan menghitung dalam 1 menit normal  60–100  X/menit  (Perry, 2005).
Respirasi
Untuk mengetahui frekuensi pernafasan yang dihitung dalam 1 menit, respirasi normal 16–20 X/menit (Perry, 2005).
b)   Pemeriksaan Sistematis
(1)     Muka : Untuk mengetahui ada  oedema  atau  tidak, pucat  atau  tidak  Pada   kasus   pre eklampsia berat pemeriksaan pada Ibu tardapat oedema(Wiknjosastro, 2008).
(2)     Mata :   Untuk   mengetahui   oedema/tidak, conjungtiva kemerahan atau tidak, sklera  putih atau tidak (Manuaba, 2008 ).
(3)     Leher : Untuk mengetahui adakah pembesaran pada kelenjar gondok, tumor/tidak, kelenjar limfe/tidak (Hidayat,  2008 ).
(4)     Dada dan Axilla
Mammae Menurut Varney (2004) :
Pembesaran : Ada pembesaran/tidak
Tumor         : Ada benjolan tumor/tidak
Simetris       : Simetris/tidak
Areola         : Hyperpigmentasi/tidak
Puting  susu            : Menonjol/tidak
Kolostrum   : Sudah keluar/belum
Axilla          : Adakah benjolan/tidak, nyeri tekan/tidak (Varney, 2004).
(5)     Ekstremitas
Apakah ada oedema pada ekstremitas atas dan bawah.
c)    Data Penunjang
Data penunjang diperlukan untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium (Varney, 2007). Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan  protein  urine  5  gram  atau  lebih,   pemeriksaan urine didapatkan dengan warna keruh dengan butiran (Wiknjosastro, 2006).
b.    Langkah Kedua : Intepretasi Data
Interpretasi data dasar merupakan rangkaian, menghubungkan  data yang diperoleh dengan konsep teori, prinsip relevan untuk mengetahui kesehatan pasien. Pada langkah ini data diinterpretasikan menjadi diagnosa, masalah (Varney, 2004).
Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan dalam lingkup praktek kebidanan (Varney, 2004). Diagnosa yang ditegakkan adalah    P…A…umur...tahun  post partum…jam dengan pre eklampsia berat.
Masalah : Masalah yang mungkin terjadi adalah nyeri kepala hebat, gangguan penglihatan, ibu merasa gelisah, nyeri perut pada bagian ulu hati, mual dan muntah, gangguan pernapasan (Nurarif, 2015).
c.     Langkah Ketiga : Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
Mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial yang sudah diidentifiaksi (Vamey, 2004). Diagnosa  potensial  yang  mungkin terjadi ibu nifas dengan pre eklampsia berat adalah terjadi Eklampsia (Wiknjosastro, 2006).
d.    Langkah Keempat : Menetapkan Kebutuhan Segera
Bidan mengidentifikasi tindakan untuk segera ditangani atau dikonsultasikan dengan dokter SpOG. Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen kebidanan. Tindakan ini bertujuan  agar            kegawatdaruratan yang dikhawatirkan dalam diagnosa potensial tidak terjadi (Varney, 2004)
Menurut Wiknjosastro (2006), antisipasi  pertama  yang  dilakukan bidan pada ibu nifas dengan pre eklampsia berat yaitu :
1)  Memberikan MgSO4 secara IV dan IM masing-masing dengan  jarak 5 menit.
2)  Melakukan kolaborasi dengan Dokter SpOG.

3)      Melakukan rujukan ke rumah sakit yang lebih tinggi.
e.     Langkah Kelima : Rencana Tindakan
Pada  langkah  ini  direncanakan  asuhan   yang   menyeluruh, ditentukan oleh langkah - langkah sebelumnya atau diagnosa  yang  telah  diidentifikasi  atau  diantisipasi.  Pada  langkah  ini  informasi data yang tidak lengkap dapat dilengkapi (Varney, 2004).
Rencana  asuhan  pada  ibu  nifas  dengan  pre   eklampsia   berat   antara lain :
1)      Jelaskan pada ibu tentang kondisinya
2)      Beri KIE tentang tanda-tanda bahaya Pre eklampsia
3)      Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
4)      Pantau tekanan darah dan protein urin
5)      Beri tahu ibu untuk banyak istirahat
6)      Beritahu ibu untuk diet rendah garam
7)      Kolaborasi dengan dokter SpOG dalam pemberian terapi.
f.     Langkah Keenam : Implementasi
Langkah ini merupakan pelaksanaan  rencana  asuhan  yang  menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah kelima, dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan  ini  biasa  dilakukan  sepenuhnya  oleh  bidan  sebagian  dilakukan  oleh  klien atau tenaga kesehatan lainnya (varney, 2004).
Pelaksanaan rencana asuhan pada ibu nifas dengan pre eklampsia
berat antara lain :
1)        Menjelaskan pada ibu tentang kondisinya
2)        Memberikan KIE tentang tanda bahaya Pre eklampsi
3)        Mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
4)        Memantau tekanan darah dan protein urin
5)        Memberi tahu  ibu untuk banyak istirahat.
6)        Memberi tahu ibu untuk diet rendah garam.
7)        Kolaborasi dengan dokter SpOG dalam pemberian obat.
g.    Langkah Ketujuh : Evaluasi
Pada langkah ini  dilakukan  evauasi  keefektifan  dari  asuhan kebidanan yang  sudah  diberikan  meliputi  pemenuhan  kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah  diidentifikasikan  di  dalam  diagnosa  dan masalah (Varney, 2004).
Evaluasi pada ibu nifas dengan pre eklamsia berat adalah :
1)        Kondisi ibu sudah baik
2)        Ibu sudah diberi KIE tentang tanda bahaya pre eklampsia
3)        Tekanan darah ibu normal
4)        Protein urine menjadi negatif (-)
5)        Ibu bersedia untuk istirahat cukup
6)        Ibu besedia untuk diet rendah garam
7)        Sudah       dilakukan        kolaborasi        dengan            dokter SpOG dalam pemberian terapi.

C. Data Perkembangan
Dalam Karya Tulis Ilmiah ini  penulis  menggunakan  data perkembangan berupa SOAP menurut Varney (2004), adalah sebagai berikut:
S   : Subyektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil  pengumpulan  data  klien melalui anamnesa.
O : Obyektif
Menggambarkan  pendokumentasian  hasil  pemeriksaan  fisik   klien, hasil laboratorium dan  test  diagnostik  lain  yang  dirumuskan  dalam  data fokus untuk mendukung Assesment.
A : Assesment
Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa interpretasi data subyektif dan obyekif  dalam  suatu  identifikasi  :  Diagnosa  atau  masalah Antisipasi diagnosa atau masalah potensial.
P   : Planning
Menggambarkan pendokumentasian tindakan dan evaluasi dari perencanaan, berdasarkan assessment.

0 Comments